Archive for Oktober 31st, 2008

Kebanggaan Terhadap Bahasa Indonesia Menurun

Selasa, 28 Oktober 2008 | 20:44 WIB
Sumber : Kompas

JAKARTA, SELASA – Perilaku berbahasa masyarakat selama ini kurang menempatkan bahasa nasional sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Rasa bangga terhadap bahasa Indonesia yang telah menempatkan bahasa itu sebagai lambang jati diri bangsa Indonesia telah menurun. Masyarakat memilih penggunaan bahasa a sing atau bahasa daerah yang tidak pada tempatnya.

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengemukakan hal itu di hadapan 1.100 peserta Kongres IX Bahasa Indonesia, Selasa (28/10) di Jakarta. Negara-negara maju, seperti Jerman dan Jepang, membangun bangsanya melalui politik identitas, walau negaranya hancur lebur akibat perang.

“Jepang membangun jati dirinya melalui pengutamaan penggunaan bahasa Jepang, seperti penerjemahan semua literatur asing dalam bahasa Jepang. Semangat dan sikap Jerman ditunjukkan pada kecintaan pada bahasanya,” katanya .

Kongres IX Bahasa Indonesia merupakan forum pertemuan pakar bahasa dan sastra, budayawan, tokoh, pejabat negara, guru dan dosen, mahasiswa, dan pencinta bahasa Indonesia. Bahkan, Kongres yang akan menampilkan 105 makalah hingga tanggal 31 Oktober 2008 ini, kali ini juga melibatkan pakar berbagai bidang ilmu dan para penyelenggara pengajaran bahasa Indonesia untuk orang asing dari seluruh dunia. Forum ini mengangkat persoalan peran bahasa dan sastra dalam membangun insan Indonesia yang cerdas, bermutu, dan berdaya saing, baik lokal, nasional maupun global.

Dalam prosesi pembukaan Kongres, sastrawan Rendra membacakan puisi Kesaksian Akhir Abad. Rendra dalam bait-bait puisinya masih mempertanyakan perihal kemerdekaan. Kemudian pemberian penghargaan kepada sejumlah tokoh oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI kepada antara lain sastrawan Hamsad Rangkuti atas karya cerpen dalam kumpulan Bibir dalam Pispot dan sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda atas kumpulan puisinya Ciuman Pertama untuk Tuhan. Operet Gebyar 80 Tahun Sumpah Pemuda oleh Teater Tanai Air pimpinan Yose Rizal Manua, dan musikaliasi puisi oleh Ari dan Reda.

Mendiknas Bambang Sudibyo mempertanyakan, mengapa bangsa yang telah membangun diri melalui politik identitas jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan (sekarang berusia 80 tahun) tidak juga membawa kemajuan dalam bidang perekonomian kita. “Adakah kondisi ini disebabkan kekurangyakinan kita pada identitas keindonesiaan yang telah diikrarkan dalam Sumpah Pemuda itu? Akibatnya, derap langkah kita dalam membangun keindonesiaan kurang terarah karena kurang percaya diri. Indikasinya, kurang menempatkan bahasa nasional sebagai tuan rumah di negeri sendiri.”

Pembangunan bangsa melalui politik identitas bukan berarti kita anti terhadap identitas bangsa lain, Bambang menegaskan. Penempatan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan RI 1945 telah menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu dan bahasa media massa, serta bahasa pengantar dalam pelaksanaan pendidikan anak bangsa.

Hal ini dipertegas kembali dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan nasional. Kongres Bahasa Indonesia yang dinilai sangat strategis, diharapkan Mendiknas dapat membahas berbagai masalah kebahasaan dan kesastraan terkait dengan berbagai perubahan dan perkembangan yang terjadi. Kongres juga diharapkan dapat merumuskan berbagai langkah strategis untuk terus mengembangkan bahasa Indonesia untuk berbagai keperluan masyarakat pendukungnya dalam kehidupan masa kini dan masa depan.

“Di samping itu juga dapat merumuskan strategi peningkatan mutu penggunaan bahasa Indonesia di berbagai kalangan masyarakat, terutama di kalangan pendidikan anak bangsa untuk menghasilkan lulusan yang cerdas dan berdaya saing serta mandiri,” papar Bambang Sudibyo.

Komentar Gw :

Pantesan aja Indonesia nggak pernah maju-maju. Bahasa Indonesia aja udah mulai dihilangkan ataupun dimusnnahakan – bukan oleh orang-orang asing- tetapi oleh Bangsa Indonesia itu sendiri.

Mengorek Asal Usul Bahasa Indonesia

Rabu, 29 Oktober 2008 | 06:07 WIB

Oleh Dewanti Lestari

Sumber : Kompas

Tanggal 28 Oktober 1928 merupakan tanggal bersejarah bagi bahasa Indonesia yang saat itu diresmikan menjadi bahasa negara dan menjadi bahasa persatuan dari sekian ratus bahasa daerah.

Namun, seperti apakah yang dinamakan bahasa Indonesia itu? Orang mengenalnya sebagai bahasa Melayu yang dimodifikasi, lalu dicampur dengan bahasa-bahasa serapan dari berbagai daerah dan dari bahasa asing, kemudian dibakukan.

Dari manakah asal-usul bahasa Melayu itu? Apakah bahasa itu hanya dituturkan oleh etnis Melayu sejak berabad-abad lalu? Padahal, etnis Melayu sendiri hanya sebagian kecil dari ratusan etnis di Nusantara?

Arkeolog Harry Truman Simanjuntak mengatakan, bahasa Melayu dan ratusan bahasa daerah lainnya di Nusantara sebenarnya berakar dari bahasa Austronesia yang mulai muncul sekitar 6.000-10.000 tahun lalu.

Penyebaran penutur bahasa Austronesia, ujar Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia  itu, merupakan fenomena besar dalam sejarah umat manusia karena sebagai suatu rumpun bahasa, Austronesia merupakan yang terbesar di dunia, meliputi 1.200 bahasa dan dituturkan oleh hampir 300 juta populasi.

Masyarakat penuturnya tersebar luas di wilayah sepanjang 15.000 km meliputi lebih dari separuh bola Bumi, yaitu dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di ujung timur, dari Taiwan-Mikronesia di utara hingga Selandia Baru di selatan.

Out of Taiwan

Mengenai asal-usul penutur Austronesia, Harry mengatakan, ada beberapa hipotesis. Yang paling umum adalah hipotesis bahwa asal leluhur penutur Austronesia adalah Formosa (Taiwan) atau model “Out of Taiwan”.

Arkeolog lainnya, Daud A Tanudirjo, menyebutkan, Robert Blust adalah pakar linguistik yang paling lantang menyuarakan pendapat bahwa asal usul penutur Austronesia adalah Taiwan.

Sejak 1970-an Blust telah mencoba merekonstruksi silsilah dan pengelompokan bahasa-bahasa dari rumpun Austronesia, misalnya kosa kata protobahasa Austronesia yang berkaitan dengan flora dan fauna serta gejala alam lain, kata Daud.

“Ia juga menawarkan rekonstruksi pohon kekerabatan rumpun bahasa Austronesia dan perkiraan waktu pencabangannya mulai dari Proto-Austronesia hingga Proto-Oseania,” katanya.

Para leluhur ini, diungkapkan Daud, awalnya berasal dari Cina Selatan yang bermigrasi ke Taiwan pada 5.000-4.000 SM, namun akar bahasa Austronesia baru muncul beberapa abad kemudian di Taiwan.

Kosakata yang dapat direkonstruksi dari bahasa awal Austronesia yang dapat dilacak antara lain : rumah tinggal, busur, memanah, tali, jarum, tenun, mabuk, berburu, kano, babi, anjing, beras, batu giling, kebun, tebu, gabah, nasi, menampi, jerami, hingga mengasap.

Para petani purba di Taiwan ini berkembang cepat dan lalu terpecah-pecah menjadi kelompok-kelompok yang hidup terpisah dan bahasanya menjadi berbeda-beda dengan setidaknya kini ada sembilan bahasa yang teridentifikasi sebagai bahasa formosa.

Bermigrasi

Migrasi leluhur dari Taiwan ke Filipina mulai terjadi pada 4.500-3.000 SM. Leluhur ini adalah salah satu dari kelompok yang memisahkan diri. Mereka bermigrasi ke selatan menuju Kepulauan Filipina bagian utara yang kemudian memunculkan cabang bahasa baru, yakni Proto-Malayo-Polinesia (PMP).

Tahap berikutnya, ujar Daud, terjadi pada 3.500-2.000 SM, di mana masyarakat penutur bahasa PMP yang awalnya tinggal di Filipina Utara mulai bermigrasi ke selatan melalui Filipina Selatan menuju Kalimantan dan Sulawesi serta ke arah tenggara menuju Maluku Utara.

Proses migrasi ini membuat bahasa PMP bercabang menjadi bahasa Proto Malayo Polinesia Barat (PWMP) di kepulauan Indonesia bagian barat dan Proto Malayo Polinesia Tengah-Timur (PCEMP) yang berpusat di Maluku Utara.

“Rupanya ketika bermigrasi ke arah tenggara penanaman padi mulai ditinggalkan karena tidak sesuai dengan lingkungannya. Mereka mulai memanfaatkan tanaman keladi dan umbi-umbian lain serta buah-buahan,” katanya.

Namun pada 3.000-2.000 SM leluhur yang ada di Maluku Utara bermigrasi ke selatan dan timur. Hanya dalam waktu singkat migrasi dari Maluku Utara mencapai Nusa Tenggara sekitar 2.000 SM yang kemudian memunculkan bahasa Proto Malayo Polinesia Tengah
(PCMP).

Demikian pula migrasi ke timur yang mencapai pantai utara Papua Barat dan melahirkan bahasa-bahasa Proto Malayo-Polinesia Timur (PEMP).

Migrasi dari Papua Utara ke barat terjadi pada 2.500 SM dan ke timur pada 2.000-1.500 SM, di mana penutur PEMP di wilayah pantai barat Papua Barat melakukan migrasi arus balik menuju Halmahera Selatan, Kepulauan Raja Ampat, dan pantai barat Papua Barat
yang kemudian muncul bahasa yang dikelompokkan sebagai Halmahera Selatan-Papua Nugini Barat (SHWNG).

Setelah itu kelompok lain dari penutur PEMP bermigrasi ke Oseania dan mencapai kepulauan Bismarck di Melanesia sekitar 1.500 SM dan memunculkan bahasa Proto Oseania.

“Sedangkan di Kepulauan Indonesia di bagian barat, setelah sempat menghuni Kalimantan dan Sulawesi, pada 3.000-2.000 SM, para penutur PWMP bergerak ke selatan, bermigrasi ke Jawa dan Sumatera,” katanya.

Penutur PWMP yang asalnya dari Kalimantan dan Sulawesi itu lalu bermigrasi lagi ke utara antara lain ke Vietnam pada 500 SM dan Semenanjung Malaka, ujarnya.

Menjelang awal tahun Masehi, penutur bahasa WMP juga menyebar lagi ke Kalimantan sampai ke Madagaskar, tambah Daud.

Bentuk rumpun bahasa Austronesia ini lebih menyerupai garu daripada bentuk pohon. Karena semua proto-bahasa dalam kelompok ini, dari Proto Malayo Polynesia hingga Proto Oseania menunjukkan kesamaan kognat yang tinggi, yaitu lebih dari 84 persen dari
200 pasangan kata, katanya.

Dengan demikian, kata Harry Truman, hampir seluruh kawasan nusantara bahkan sampai ke kawasan negeri-negeri tetangga dan masyarakat kepulauan Pasifik dan Madagaskar menuturkan bahasa yang asal-muasalnya merupakan bahasa Austronesia.

“Kecuali masyarakat yang ada di pedalaman Papua dan pedalaman pulau Timor yang bahasanya lebih mirip dengan bahasa pedalaman Australia,” katanya.

Bahasa Indonesia sekarang ini, kata Harry lagi, sudah sangat kompleks karena penuturnya tidak hanya hidup dengan sukunya masing-masing dan beradaptasi dengan rumpun bahasa dunia lainnya seperti dari India, Arab, Portugis, Belanda dan Inggris.

Pelajaran Bahasa Indonesia Makin Tidak Diminati

Jumat, 31 Oktober 2008 | 20:54 WIB

Sumber : Kompascyber.com

JAKARTA, JUMAT – Walaupun pelajaran bahasa Indonesia diajarkan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, kompetensi bahasa Indonesia siswa tidaklah menggembirakan. Data hasil ujian nasional (UN) tiga tahun terakhir menunjukkan penurunan nilai bahasa Indonesia. Selama ini bahasa Indonesia ditempatkan siswa sebagai kurang favorit, setelah mata pelajaran eksakta dan ilmu sosial lain.

Kondisi ini diperparah, karena bahasa Indonesia di beberapa sekolah di daerah, diajarkan oleh guru di luar bidang studi rumpun bahasa, antara lain dari bidang hukum, agama, olahraga, sejarah, bahkan matematika. Persoalan guru bahasa Indonesia tidak hanya pada soal kuantitas saja, tetapi lebih pada kualitas.

Demikian benang merah yang mengemuka dalam panel hari terakhir Kongres IX Bahasa Indonesia, Jumat (31/10) di Jakarta. Kenyataan soal pelajaran bahasa Indonesia dan guru bahasa Indonesia yang memprihatinkan itu diungkapkan Direktur Jenderal PMPTK Depdiknas Baedhowi, Kepala Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang Depdiknas Burhanuddin Tola, dan Ketua Asosiasi Jurusan/Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Endry Boeriswati.

Baedhowi mengatakan, efektivitas proses pencapaian kualitas pendidikan tersebut sangat terkait dengan esensi proses komunikasi yang terjadi, dan hal ini sangat berhubungan dengan kemampuan menggunakan bahasa Indonesia. Seluruh bentuk proses peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan itu telah dilakukan dan sebagian besar menggunakan bahasa Indonesia. Dengan demikian, melaui bahasa Indonesia terjadi penyerapan ilmu pengetahuan.

“Pemakaian dan pengembangan bahasa Indonesia menjadi salah satu segi pembangunan bangsa, bahkan sejumlah ahli telah menggunakan dan memperhitungkan bahasa Indonesia sebagai salah satu indikator untuk menunjukkan mutu manusia Indonesia,” tandasnya.

Namun, ironisnya, kemampuan penguasaan bahasa Indonesia siswa SMP dan SMA masih rendah. Kompetensi bahasa Indonesia siswa masih kurang baik, karena yang terjadi adalah penurunan dan bukan peningkatan dari tahun sebelumnya. Data Puspendik Nilai Rata-rata Ujian Nasional Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Tahun 2006, 2007, dan 2008 yang dikutip Baedhowi mengungkapkan kenyataan itu.

Tingkat SMP, nilai rata-rata bahasa Indonesia tahun 2006 adalah 7,46, tahun 2007 turun menjadi 7,39, dan tahun 2008 turun 7,00. SMA Bahasa nilai rata-rata 2006, 2007, 2008 adalah 7,40; 7,08; 6,56 . SMA IPA tahun 2006 nilai rata-rata 7,90, tahun 2007 rata-rata 7,56, dan tahun 2008 rata-rata 7,60. Sedangkan SMA IPS nilai rata-rata UN bahasa Indonesia 7,26 (2006), 6,95 (2007), dan 6,95 (2008).

Data serupa yang lebih lengkap, 15 tahun terakhir, juga diungkapkan Burhanuddin Tola. Kondisi ini terjadi karena tujuan utama penilaian sering diabaikan, kurang dimengerti oleh semua pihak. Yang dipentingkan hanya skornya saja. Dampaknya, skor yang sudah diperoleh siswa belum dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang belajar tuntas.

Burhanuddin juga mengungkapkan data profil kemampuan membaca siswa usia 15 tahun tingkat internasional, tahun 2003. Data itu menunjukkan kemampuan membaca siswa SMP tahun 2003 menduduki urutan ke-38 dari 40 negara.

Tidak terpenuhi

Kurang favoritnya bahasa Indonesia membuat rendah minat siswa memilih jurusan bahasa Indonesia. Jurusan bahasa Indonesia di sejumlah perguruan tinggi kekurangan mahasiswa bahkan ada yang terancam ditutup.

Padahal, menurut Endry kebutuhan guru bahasa Indonesia itu meningkat dari tahun ke tahun, bukan saja sebagai pengganti formasi guru yang pensiun tetapi juga mengisi formasi baru. Kebutuhan tersebut belum terpenuhi, sehingga formasi tersebut ada yang diisi oleh guru non bahasa Indonesia. “Untuk mengejar kuantitas saja tidak terpenuhi, lalu bagaimana dengan mengejar kualitas?” katanya.

Endry melukiskan bahwa kebutuhan guru bahasa Indonesia tidak terpenuhi oleh LPTK. Disebutkan, jumlah LPTK yang memiliki program studi pendidikan bahasa Indonesia baik negeri maupun swasta di Indonesia kurang lebih ada 250. Apabila masing-masing program studi setiap tahun menghasilkan 50 orang guru saja, berarti ada 1250 orang calon guru. Ini memang belum mencukupi kebutuhan lapangan baik untuk mengganti formasi atau penambahan formasi. Dengan demikian dapat dipahami apabila terjadi penyusupan profesionalitas.

Menurut Endry, jabatan guru bahasa Indonesia merupakan jabatan yang strategis tidak hanya untuk kepentingan pendidikan tetapi juga kepentingan politis. Guru bahasa Indonesia memiliki amanat politis yang tertuang dalam UUD 1945, yaitu bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia.

“Dengan demikian yang harus ada tidak hanya keberadaan guru bahasa Indonesia saja, melainkan guru bahasa Indonesia yang mampu menjaga keberlangsungan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan mendidik manusia Indonesia mampu berbahasa Indonesia,” paparnya.

Kongres IX Bahasa Indonesia, Jumat (31/10) ditutup dengan prosesi pementasan operet Aku Cinta Bahasa Indonesia oleh Eksotika Karmawibhangsa Indonesia, pembacaan puisi oleh Inne Febriyanti, dan pesan oleh Ismet Fanany, Convenor Indonesian Studies, dan dosen Deakin University, Australia. Juga persembahan lagu oleh Ebiet G Ade.

Komentar Gw :

Sungguh malang nasib Bahasa Indonesia. Kemusnahan Bahasa Indonesia tinggal menghitung detik saja dan akan digantikan oleh Bahasa Asing seperti Bahasa Malayu ataupun Bahasa Melayu. Sungguh memalukan Bangsa sebesar Indonesia meremekan Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia.